BAB 9
Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
1.
Pengertian
Hak Intelektual atau
yang biasa disebut Haki ini di dalam bahasa inggris disebut intellectual
property right (IPR) adalah hak yang timbul atas hasil olah pikir otak yang
menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Jadi, Haki
itu merupakan hak untuk menikmati hasil dari suatu kreativitas.
2.
Prinsip-prinsip
Hak Kekayaan Intelektual
· Prinsip
Ekonomi, adalah hak intelektual yang berasal dari kreatif suatu kemauan daya
piker manusia yang diekspresikan dalam berbagai bentuk yang memberikan
keuntungan kepada pemilik.
· Prinsip
Keadilan, adalah hak intelektual dalam mendapatkan perlindungan bagi seseorang
yang menciptakan atau membuahkan karya dari kemampuannya, baik berupa ilmu
pengetahuan, seni atau sastra.
· Prinsip
Kebudayaan, adalah hak intelektual untuk meningkatkan kehidupan manusia dengan
mengembangkan ilmu pengetahuan, sastra, dan seni.
· Prinsip
Sosial, adalah hak intelektual yang diberikan berdasarkan keseimbangan
kepentingan individu dan masyarakat yang diakui oleh hukum.
3.
Klasifikasi
Hak Kekayaan Intelektual
Berdasarkan WIPO hak
atas kekayaan intelektual dibagi menjadi dua, yaitu :
1. Hak Cipta (copyright)
2.
Hak kekayan industri (industrial property right), adalah hak yang mengatur
segala sesuatu tentang milik perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan
hukum. Berdasarkan pasal 1 Konvensi Paris mengenai perlindungan Hak Kekayaan
Industri tahun 1883 yang telah diamandemen 2 Oktober 1979, meliputi paten,
merk, varietas tanaman, rahasia dagang, desain industri, desain tata letak
sirkuit terpadu.
4.
Dasar
Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia
· UU Nomor 6 Tahun 1982
tentang Hak Cipta ( Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15 )
· UU Nomor 7 Tahun 1987
tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara
RI Tahun 1987 Nomor 42)
· Undang-undang Nomor
7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO)
· Undang-undang Nomor
10/1995 tentang Kepabeanan
· UU Nomor 12 Tahun 1997
tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU
Nomor 7 Tahun 1987 ( Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29 )
· Undang-undang Nomor
12/1997 tentang Hak Cipta
· Undang-undang Nomor
14/1997 tentang Merek
· Keputusan Presiden RI
No. 15/1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the Protection of Industrial Property dan Convention
Establishing the World Intellectual Property Organization
· Keputusan Presiden RI
No. 17/1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty
· Keputusan Presiden RI
No. 18/1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works
· Keputusan Presiden RI
No. 19/1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty
· Undang-Undang Nomor 29
Tahun 2000 tentang Varietas Tanaman
· Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang
· Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2000 tentang Desain Industri
· Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
· Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2001 tentang Paten
5.
Hak
Cipta
Menurut Pasal 1 ayat 1,
hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan arau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan
tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
a. Subyek
hak cipta
· Pencipta,
adalah seseorang yang melahirkan inspirasi atas suatu ciptaan berdasarkan
kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian, yang
dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
· Pemegang hak cipta, adalah pemilik hak cipta
b. Obyek
hak cipta
· Ciptaan, adalah hasil setiap karya pencipra
dalam bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu
pengetahuan, seni, dan sastra.
Undang-undang hak
cipta, adalah sebagai berikut :
a. UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
b. UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun
1982 Nomor 15)
c. UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982
tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
d. UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun
1997 Nomor 29)
6.
Hak
Paten
Berdasarkan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001, paten adalah hak eksklusif yang diberikan
oleh Negara kepada investor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang
untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut, atau
memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
Undang-undang yang mengatur tentang paten, adalah sebagai berikut :
a. Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1898 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1989 Nomor 39)
b. Undang-undang
Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang
Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 30)
c. Undang-undang
Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 109)
7.
Hak
Merk
Berdasarkan
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001, merk adalah tanda yang berupa gambar, nama,
kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasu dari unsur-unsur
tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan
barang atau jasa. Istilah pada merk terbagi menjadi :
· Merk
dagang, adalah merk yang digunakan pada barang yang diperdagangkan untuk
membedakan barang yang satu dengan yang lainnya.
· Merk
jasa, adalah merk yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan untuk membedakan
jasa yang satu dengan yang lainnya.
· Merk
kolektif, adalah merk yang digunakan pada barang atau jasa yang diperdagangkan
untuk membedakan barang atau jasa sejenis lainnya.
· Hak
atas merk, adalah hak khusus yang diberikan negara
kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu
tertentu, menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada seseorang
atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya.
Undang-undang
tentang hak merek, adalah sebagai berikut :
a. UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun
1992 Nomor 81)
b. UU Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 19 Tahun 1992
tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 31)
c. UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun
2001 Nomor 110)
8.
Desain
Industri
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000, Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi,
atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan
daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan
estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta
dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau
kerajinan tangan.
9.
Rahasia
Dagang
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000, rahasia dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di
bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam
kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang.
Sumber
:
BAB 10
Perlindungan Konsumen
1.
Pengertian
Konsumen
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.
8 Tahun 1999, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
2.
Azas
dan Tujuan
· Azas
· Azas manfaat, upaya dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen yang harus memberikan manfaat bagi kepentingan konsumen
dan pelaku usaha secara keseluruhan.
· Azas keadilan, mewujudkan partisipasi rakyat
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen, pelaku usaha, dan
pemerintah dalam arti materil ataupun spiritual.
· Azas keseimbangan, memberikan keseimbangan
natara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil
ataupun spiritual.
· Azas keamanan dan keselamatan, memberikan
jaminan keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian,
dan pemanfaatan barang atau jasa yang dikonsumsi.
· Azas kepastian hukum, memperoleh keadilan
dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian
hukum.
· Tujuan
Menurut Pasal 3
Undang-undang No 8/1999, tujuan perlindungan konsumen adalah :
· Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri
· Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan
cara menghindarkannya dari akses negatif pemakai barang atau jasa
· Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam
memilih, menentukan, dan menuntut hak-hak sebagai konsumen
· Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi
· Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai
pentingnya perlindungan konsumen, sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam usaha
· Meningkatkan kualitas barang atau jasa yang
menjamin kelangsungan usaha produksi barang atau jasa, kesehatan, kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan konsumen.
3.
Hak
dan Kewajiban Konsumen
a. Hak
konsumen
· Hak
atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang.
· Hak
untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar.
· Hak
atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan atau jasa
· Hak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa yang digunakan
· Hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
· Hak
untuk mendapatkan Pembina dan pendidikan konsumen.
· Hak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian apabila barang
atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan yang semestinya
· Hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan lainnya.
b. Kewajiban
konsumen
· Konsumen
wajib membaca dan mengikuti petunjuk pemakaian barang atau jasa.
· Konsumen
wajib memiliki itikad baik dalam melakukan transaksi pembelian
· Konsumen
wajib membayar sesuai dnegan nilai tukar mengikuti proses hukum.
4.
Hak
dan Kewajiban Pelaku Usaha
· Hak
pelaku usaha
• Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai
dnegan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang
diperdagangkan.
• Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari
tindakan konsumen yang beritikad tidak baik
• Hak
untuk pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen
• Hak
untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan
· Kewajiban
pelaku usaha
• Beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya
• Memberikan
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau
jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.
• Memperlakukan
secara benar dan jujur, serta tidak diskriminatif
• Menjamin
mutu barang atau jasa yang diproduksi berdasarkan ketentuan standar mutu barang
yang diperdagangkan
• Memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguju barang atau jasa yang diperdagangkan
• Memberi
kompensasi akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang atau jasa yang
diperdagangkan, dan kompensasi bila barang atau jasa tidak sesuai dengan
perjanjian.
5.
Perbuatan
yang Dilarang bagi Pelaku Usaha
Dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan
standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
2. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih
atau neto dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label
atau etiket barang tersebut,
3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran,
timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya,
4. Tidak sesuai dengan kondisi,jaminan,
keistimewaan, atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut,
5. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan,
komposisi, proses pengolahan, gaya, mode atau penggunaan tertentu sebagaimana
dinyatakan dalam label atua keterangan barang dan/atau jasa tersebut,
6.
Klausula
Baku dalam Perjanjian
Dalam pasal 18
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan jasa
yang ditunjukkan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantunkan klausa
baku pada setiap dokumen atau perjanjian, antara lain :
• Menyatakan
pengalihan tanggun jawab pelaku usaha
• Menyatakan
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen
• Pelaku
usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang atau
jasa yang dibeli konsumen
• Pemberian
klausa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak
langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang
yang dibeli konsumen secara angsuran
• Mengatur
perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau manfaat jasa yang dibeli
oleh konsumen
• Memberi
hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi jasa atau mengurangi harta kekayaan
konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa.
Pelaku usaha dilarang
mencantumkan klausa baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak
dapat dibaca secara jelas, sebagai konsekuensinya setiap klausa baku yang telah
ditetapkan oleh pelaku usaha dalam dokumen atau perjanjian yang memenuhi
sebagaimana diatas telah dinyatakan batal demi hukum. Oleh karena itu, pelaku
usaha diwajibkan untuk menyesuaikan klausa baku yang dibuatnya yang
bertentangan dengan undang-undang.
7.
Tanggung
Jawab Pelaku Usaha
Produk secara umum
diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang (tangible
goods), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Namun dalam kaitan
dengan masalah tanggung jawab produser (Product Liability) produk bukan hanya
berupa tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat intangible seperti
listrik, produk alami (mis. Makanan binatang piaraan dengan jenis binatang
lain), tulisan (mis. Peta penerbangan yang diproduksi secara masal), atau
perlengkapan tetap pada rumah real estate (mis. Rumah).
Tanggung jawab produk (product liability), menurut Hursh bahwa product
liability is the liability of manufacturer, processor or non-manufacturing
seller for injury to the person or property of a buyer third party, caused by
product which has been sold. Perkins Coie juga menyatakan Product Liability:
The liability of the manufacturer or others in the chain of distribution of a
product to a person injured by the use of product. Dengan demikian, yang
dimaksud dengan product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari
orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau
dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu
produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang menjual atau
mendistribusikan produk tersebut.
Bahkan dilihat dari konvensi tentang product liability di atas, berlakunya
konvensi tersebut diperluas terhadap orang/badan yang terlibat dalam rangkaian
komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para
pengusaha, bengkel dan pergudangan. Demikian juga dengan para agen dan pekerja
dari badan-badan usaha di atas. Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan
produk yang cacat sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi
pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian maupun harta benda.
Seperti di kemukakan di atas, bahwa jika dilihat secara sepintas, kelihatan
bahwa apa yang di atur dengan ketentuan product liability telah diatur pula
dalam KUHPerdata. Hanya saja jika kita menggunakan KUHPerdata, maka bila
seorang konsumen menderita kerugian ingin menuntut pihak produsen (termasuk
pedagang, grosir, distributor dan agen), maka pihak korban tersebut akan
menghadapi beberapa kendala yang akan menyulitkannya untuk memperoleh ganti
rugi. Kesulitan tersebut adalah pihak konsumen harus membuktikan ada unsur kesalahan
yang dilakukan oleh pihak produsen. Jika konsumen tidak berhasil membuktikan
kesalahan produsen, maka gugatan konsumen akan gagal. Dengan diterapkannya
prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan
akibat produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut kompensasi
tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidak adanya unsur kesalahan di pihak
produsen. Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak (strtict
liability) diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah :
• Diantara
korban atau konsumen di satu pihak dan produsen di lain pihak, beban kerugian
atau resiko yang seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi
barang-barang cacat atau berbahasa tersebut dipsaran.
• Dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang
di pasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan
pantas untuk dipergunakan, dan bilamana terbukti tidak demikian, dia harus
bertanggung jawab
• Sebenarnya
tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak-pun produsen yang melakukan
kesalahan tersebut dapat dituntut melalui proses penuntutan beruntun, yaitu
konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada
distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen. Penerapan
strict liability dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang panjang ini
Dengan demikian apapun
alasannya, pelaku usaha harus bertanggung jawab apabila ternyata produk yang
dihasilkannya cacat atau berbahaya. Informasi akurat dan lengkap merupakan hak
konsumen. Apabila kewajiban ini tidak dipenuhi, maka sudah semestinya pelaku
usaha dimintai pertanggungjwaban.
8.
Sanksi
1. Sanksi Administratif
Berupa penetapan ganti
rugi paling banyak Rp 200.000.000, terhadap pelaku usaha melanggar pasal 19
ayat (2) dan ayat (3), pasal 20, pasal 25, dan pasal 26, yaitu :
• Pelaku
usaha yang tidak melaksanakan pengembalian uang atau penggantian barang atau
jasa yang sejenis atau setara nilainya atau perawatan kesehatan atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
• Pelaku
usaha yang tidak melaksanakan pemberian ganti rugi dalam tenggang waktu 7 hari
setelah tanggal transaksi.
• Pelaku
usaha periklanan yang tidak bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan
segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
• Pelaku
usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas
waktu sekurang-kurangnya satu tahun yang tidak menyediakan suku cadang atau
fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang
diperjanjikan.
• Pelaku
usaha yang tidak bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi atau gugatan
konsumen apabila pelaku:
- Tidak
menyediakan atau lalai menyediakan suaku cadang atau fasilitas perbaikan
- Tidak
memenuhi atau gagal memenuhi jamunan atau garansi yang diperjanjikan
• Pelaku
usaha yang memperdagangkan jasa tidak memenuhi jaminan atau garansi yang
disepakati atau yang diperjanjikan.
2. Sanksi Pidana
a.
berupa pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp
2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
b.
berupa penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah)
c.
dapat dijatuhkan hukuman tambahan berupa :
• Perampasan
barang tertentu
• Pengumuman
keputusan hakim
• Pembayaran
ganti rugi
• Perintah
penghentuan kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen
• Kewajiban
penarikan barang dari peredarab
• Pemcabutan
izin usaha
Sumber :
BAB 11
Anti Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat
1.
Pengertian
Menurut
Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, menyebutkan bahwa monopoli
adalah suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau
atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku
usaha. Sedangkan persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antara pelaku
usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau
jasa yang dilakukan dengan cata tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat
persaingan usaha.
2.
Azas
dan Tujuan
· Azas
Pelaku usaha di
Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi
dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan
kepentingan umum.
· Tujuan
Menurut Undang-undang
No 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli persaingan usaha tidak sehat
bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan
konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan.
Kepedulian utama dari Undang-undang persaingan usaha adalah promoting
competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
3.
Kegiatan
yang Dilarang
Dalam Undang-Undang No
5 Tahun 1999, kegiatan yang dilarang diatur dalam pasal 17 sampai dengan pasal
25, adalah sebagai berikut :
· Monopoli
yang dijelaskan pada pasal 17 adalah
1) Pelaku
usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan
atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
2) Pelaku
usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 apabila barang
dan atau jasa yang bersangkutan belum ada subtitusinya, atau mengakibatkan
pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau
jasa yang sama, atau suatu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai
lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
· Monopsoni,
yang dijelaskan dalam pasal 18 adalah :
1) Pelaku
usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas
barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
2) Pelaku
usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi
pembeli tunggal, sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 apabila satu pelaku
usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar
atau satu jenis barang atau jasa tertentu.
· Penguasaan
pasar
1) Menurut
pasal 19, pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan baik
sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa menolak dan atau menghalangi
pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar
bersangkutan, atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
2) Menurut
pasal 21, pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya
produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan
atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat
3) Menurut
pasal 22, pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur
dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat.
4) Menurut
pasal 23, pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk
mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai
rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan tidak
sehat.
5) Menurut
pasal 24, pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat
produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan
maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok dipasar
bersangkutan menjadi berkurang, baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan
waktu yang dipersyaratkan.
4.
Perjanjian
yang Dilarang
Perjanjian yang
dilarang oleh BAB II Undang-undang anti monopoli, adalah sebagai berikut :
a) Oligopoli,
adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah
sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga
pasar
b) Penetapan
harga, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama, perjanjian yang
mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari yang
harus dibayar oleh oembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama,
perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga
pasar, perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa
penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan
atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah
dijanjikan.
c) Pembagian
wilayah, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar
terhadap barang dan atau jasa.
d) Pemboikotan,
pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik
untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
e) Kartel,
pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang
bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran
suatu barang dan atau jasa.
f) Trust,
pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk
melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang
lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup
tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol
produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
g) Oligopsoni,
keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau
menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
h) Integrasi
vertical, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam
rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian
produksi merupakan hasil pengolalaan atau proses lanjutan baik dalam satu
rangkaian langsung maupun tidak langsung.
i) Perjanjian
tertutup, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain
yang membuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya
akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada
pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
j) Perjanjian
dengan pihak luar negeri, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak
luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
5.
Hal-hal
yang dikecualikan dalam UU Anti Monopoli
1) Perjanjian-perjanjian
tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang terdiri dari
oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust,
oligopsoni, integrasi vertical, perjanjian tertutup, perjanjian dengan pihak
luar negeri
2) Kegiatan-kegiatan
tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang meliputi
monopoli, monopsony, penguasaan pasar, persekongkolan
3) Posisi
dominan, meliputi pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang
bersaing, pembatasan pasar dan pengembangan teknologi, menghambat pesaing untuk
bisa masuk pasar, jabatan rangkap, pemilikan saham, merger, akuisisi,
konsolidasi.
6.
Komisi
Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU)
Komisi Pengawasan
Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang
dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-undang No 5 Tahun 1999 tentang larangan
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
7.
Sanksi
1) Pasal
36 UU anti monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah menjatuhkan sanksi
administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli.
2) Pasal
48
a) Pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai
dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana
kurungan pengganti denda selama-lamanya enam bulan.
b) Pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 samapai
dnegan Pasal 25, dan Pasal 26 Undang-undang ini diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan
pengganti pidana denda selama-lamanya lima bulan.
c) Pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda
serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya
Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah) atau pidana kurungan pengganti denda
selama-lamanya 3 bulan.
3) Pasal
49
Dengan menunjuk
ketentuan Pasal 10 Kitan Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana
sebagaimana diatur dalam pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa
a) Pencabutan
izin usaha
b) Larangan
kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap
undang-undang ini untuk menduduki jabaran direksi atau komisaris
sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya 5 tahun
c) Penghemaran
kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian kepada
pihak lain.
Sumber
:
BAB 12
Penyelesaian Sengketa Ekonomi
1.
Pengertian
Sengketa
Pengertian
sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik.
Konflik berarti adanya oposisi atau pertentang antara orang-orang,
kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Menurut
Ali Achmad, sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang
berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik
yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
2.
Cara-cara
Penyelesaian Sengketa
a) Negosiasi,
adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat berusaha
untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda ddan bertentangan.
b) Mediasi,
adalah upaya penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak ketiga yang netral,
yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak
yang bersengketa mencapai penyelesaian yang diterima kedua belah pihak.
c) Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada suatu perjanjian arbitrase
antara para pihak yang bersengketa. Dalam Arbitrase, para pihak memberikan
kewenangan kepada arbiter untuk memberikan keputusan atas sengketa pada tingkat
pertama dan terakhir.
d) Pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang
melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
3.
Negosiasi
Negosiasi
adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat berusaha
untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Negosiasi ini
suatu proses saat dua pihak mencapau perjanjian yang dapat mencapai kepuasan
semua pihak yang berkepentingan dengan elemen-elemen kerja sama dan kompetisi,
diaman termasuk didalamnya tindakan yang dilakukan ketika bekomunikasi,
kerjasama atau mempengaruhi orang laing dengan tujuan tertentu.
4.
Mediasi
Mediasi
adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat
para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus
atau memaksakan sebuah penyelesaian.
5.
Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada suatu perjanjian arbitrase
antara para pihak yang bersengketa. Dalam Arbitrase, para pihak memberikan
kewenangan kepada arbiter untuk memberikan keputusan atas sengketa pada tingkat
pertama dan terakhir.
6.
Perbandingan
antara Perundingan, Arbitrase, dan Ligitasi
a)
Perundingan adalah cara penyelesaian
sengketa dimana para pihak yang bersengketa saling melakukan kompromi untuk
menyuarakan kepentingannya, dengan itu diharapkan terciptanya solusi dan
mengakhiri sengketa tersebut.
b)
Ligitasi adalah sistem penyelesaian
melalui lembaga peradilan yang akan diperiksa dan diputuskan oleh hakim.
Melalui sistem ini tidak mungkin tercapai solusi, karena hakim harus
menjatuhkan putusan kepada salah satu pihak yang mana yang menang dan mana yang
kalah. Melalui ligitasi biayanya lebih murah, namun kurangnya kepastian hukum.
c)
Arbitrase adalah cara penyelesaian
sengketa dimana yang memeriksa perkara bukanlah hakim, tetapi seorang arbiter.
Arbiter ini bisa lebih dipercata karena seorang ahli dibidangnya dalam
mengambil keputusan dan hasilnya akan lebih cermat. Namun memang biaya yang
dikeluarkan aka lebih mahal, selain itu putusan arbitrasi tidak mempunyai
kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke perngadilan negeri, dan ruang
lingkup arbitrase terbatas, hanya pada bidang perdagangan, ekspor-impor, pasar
modal.
Sumber
: