Kamis, 30 Mei 2013

Contoh Kasus Hukum Dagang

Dalam contoh ini, membahas tenteng hukum dagang yang berkaitan dengan merk dagang.
Seorang pengusaha menciptakan sebuah produk dagangannya yang memiliki logo untuk dijadikan sebagai merk dagang produknya tersebut. Saat produknya sudah dipasarkan, ternyata logo yang dia pakai tersebut sama dengan perusahaan lain, walaupun namanya berbeda dengan perusahaan tersebut. Setelah dilihat ternyata perusahaan tersebut sudah terlebih dahulu mendaftarkan logo produknya tersebut. Karena merasa dirugikan logonya ditiru oleh pengusaha lain, maka pengusa tersebut digugat oleh perusahaan yang merasa disamakan logonya.
Pada dasarnya, merk adalah tanda berupa gambar, susunan warna, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki pembeda, dan digunakan dalam kegiatan perdagangan yang sama. Sedangkan merek dagang adalah merek barang yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis lainnya, maksudnya adalah barang yang termasuk dalam satu cabang industri atau satu cabang perdagangan yang sama.
Terdapat beberapa ketentuan mengenai merek yang tidak diperbolehkan dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, seperti:
1.    Merek orang lain yang sudah terdaftar terlebih dahulu untuk barang dan atau jasa yang sejenis
2.    Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan jasa sejenis
3.    Indikasi geografis yang sudah terkenal
Berdasarkan ketentuan oleh Undang-undang, jelas bahwa pengusaha tersebut melanggar ketetapan Undang-undang dengan membuat logo sama dengan logo perusahaan lain yang sudah terdapat, walaupun memang ada perbedaan dibagian namanya. Oleh karena itu, perusahaan yang merasa dirugikan karena logonya sudah ditiru oleh mengusaha lain, mempunyai hak untuk medapatkan keadilan.

Pengaturan mengenai gugatan terhadap peniruan logo tersebut diatur dalam Undang-Undang HAKI pasal 76-pasal 77. Pemilik terdaftar bisa mengajukan gugatan kepada perseorangan atau badan hukum yang telah menggunakan merek tanpa hak merek barang atau merek jasa. Seperti merek mempunyai persamaan pada pokok atau keseluruhan dengan mereknya, baik merupakan gugatan ganti rugi dan atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersbut. Dalam hal ini gugatan dapat diajukan melalui Pengadilan Niaga.
Sumber :
http://statushukum.com/kasus-hukum-dagang.html, diakses pada tanggal 10 Mei 2013


BAB 9,10,11,12

BAB 9
Hak Kekayaan Intelektual (HAKI)
1.    Pengertian
Hak Intelektual atau yang biasa disebut Haki ini di dalam bahasa inggris disebut intellectual property right (IPR) adalah hak yang timbul atas hasil olah pikir otak yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna untuk manusia. Jadi, Haki itu merupakan hak untuk menikmati hasil dari suatu kreativitas.
2.    Prinsip-prinsip Hak Kekayaan Intelektual
·      Prinsip Ekonomi, adalah hak intelektual yang berasal dari kreatif suatu kemauan daya piker manusia yang diekspresikan dalam berbagai bentuk yang memberikan keuntungan kepada pemilik.
·      Prinsip Keadilan, adalah hak intelektual dalam mendapatkan perlindungan bagi seseorang yang menciptakan atau membuahkan karya dari kemampuannya, baik berupa ilmu pengetahuan, seni atau sastra.
·      Prinsip Kebudayaan, adalah hak intelektual untuk meningkatkan kehidupan manusia dengan mengembangkan ilmu pengetahuan, sastra, dan seni.
·      Prinsip Sosial, adalah hak intelektual yang diberikan berdasarkan keseimbangan kepentingan individu dan masyarakat yang diakui oleh hukum.
3.    Klasifikasi Hak Kekayaan Intelektual
Berdasarkan WIPO hak atas kekayaan intelektual dibagi menjadi dua, yaitu :
1.  Hak  Cipta (copyright)
2. Hak kekayan industri (industrial property right), adalah hak yang mengatur segala sesuatu tentang milik perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan hukum. Berdasarkan pasal 1 Konvensi Paris mengenai perlindungan Hak Kekayaan Industri tahun 1883 yang telah diamandemen 2 Oktober 1979, meliputi paten, merk, varietas tanaman, rahasia dagang, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu.
4.    Dasar Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia
·      UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta ( Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15 )
·      UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
·      Undang-undang Nomor 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade    Organization (WTO)
·      Undang-undang Nomor 10/1995 tentang Kepabeanan
·      UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 ( Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29 )
·      Undang-undang Nomor 12/1997 tentang Hak Cipta
·      Undang-undang Nomor 14/1997 tentang Merek
·      Keputusan Presiden RI No. 15/1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the Protection of     Industrial Property dan Convention Establishing the World Intellectual Property Organization
·      Keputusan Presiden RI No. 17/1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty
·      Keputusan Presiden RI No. 18/1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection of    Literary and Artistic Works
·      Keputusan Presiden RI No. 19/1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty
·      Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Varietas Tanaman
·      Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang
·      Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
·      Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
·      Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten
5.    Hak Cipta
Menurut Pasal 1 ayat 1, hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan arau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
a.    Subyek hak cipta
·      Pencipta, adalah seseorang yang melahirkan inspirasi atas suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan atau keahlian, yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
·       Pemegang hak cipta, adalah pemilik hak cipta
b.    Obyek hak cipta
·       Ciptaan, adalah hasil setiap karya pencipra dalam bentuk yang khas dan menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra.
Undang-undang hak cipta, adalah sebagai berikut :
a.    UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
b.    UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
c.    UU Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
d.   UU Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)
6.    Hak Paten
Berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001, paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada investor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Undang-undang yang mengatur tentang paten, adalah sebagai berikut :
a.    Undang-undang Nomor 6 Tahun 1898 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1989 Nomor 39)
b.    Undang-undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 30)
c.    Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 109)
7.    Hak Merk
Berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001, merk adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasu dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Istilah pada merk terbagi menjadi :
·      Merk dagang, adalah merk yang digunakan pada barang yang diperdagangkan untuk membedakan barang yang satu dengan yang lainnya.
·      Merk jasa, adalah merk yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan untuk membedakan jasa yang satu dengan yang lainnya.
·      Merk kolektif, adalah merk yang digunakan pada barang atau jasa yang diperdagangkan untuk membedakan barang atau jasa sejenis lainnya.
·      Hak atas merk, adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu, menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya.

Undang-undang tentang hak merek, adalah sebagai berikut :
a.    UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1992 Nomor 81)
b.    UU Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 31)
c.    UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 110)
8.    Desain Industri
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000, Desain Industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.
9.    Rahasia Dagang
Menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000, rahasia dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang.


Sumber :
·         http://hakintelektual.com/haki/definisi-hak-kekayaan-intelektual/, diakses pada tanggal 10 Mei 2013
























BAB 10
Perlindungan Konsumen
1.    Pengertian Konsumen
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
2.    Azas dan Tujuan
·      Azas
·       Azas manfaat, upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen yang harus memberikan manfaat bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
·       Azas keadilan, mewujudkan partisipasi rakyat secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil ataupun spiritual.
·       Azas keseimbangan, memberikan keseimbangan natara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil ataupun spiritual.
·       Azas keamanan dan keselamatan, memberikan jaminan keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang atau jasa yang dikonsumsi.
·       Azas kepastian hukum, memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
·      Tujuan
Menurut Pasal 3 Undang-undang No 8/1999, tujuan perlindungan konsumen adalah :
·       Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
·       Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakai barang atau jasa
·       Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-hak sebagai konsumen
·       Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi
·       Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen, sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam usaha
·       Meningkatkan kualitas barang atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
3.    Hak dan Kewajiban Konsumen
a.    Hak konsumen
· Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang.
· Hak untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar.
· Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa
· Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa yang digunakan
· Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.
· Hak untuk mendapatkan Pembina dan pendidikan konsumen.
· Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan yang semestinya
· Hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangan lainnya.
b.    Kewajiban konsumen
·  Konsumen wajib membaca dan mengikuti petunjuk pemakaian barang atau jasa.
·  Konsumen wajib memiliki itikad baik dalam melakukan transaksi pembelian
·  Konsumen wajib membayar sesuai dnegan nilai tukar mengikuti proses hukum.
4.    Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
·    Hak pelaku usaha
        Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dnegan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang atau jasa yang diperdagangkan.
        Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik
       Hak untuk pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen
       Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang atau jasa yang diperdagangkan

·    Kewajiban pelaku usaha
       Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
       Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.
       Memperlakukan secara benar dan jujur, serta tidak diskriminatif
       Menjamin mutu barang atau jasa yang diproduksi berdasarkan ketentuan standar mutu barang yang diperdagangkan
       Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguju barang atau jasa yang diperdagangkan
       Memberi kompensasi akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang atau jasa yang diperdagangkan, dan kompensasi bila barang atau jasa tidak sesuai dengan perjanjian.
5.    Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha
Dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
1.    Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
2.    Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau neto dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut,
3.    Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya,
4.    Tidak sesuai dengan kondisi,jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut,
5.    Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atua keterangan barang dan/atau jasa tersebut,
6.    Klausula Baku dalam Perjanjian
Dalam pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan jasa yang ditunjukkan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantunkan klausa baku pada setiap dokumen atau perjanjian, antara lain :
       Menyatakan pengalihan tanggun jawab pelaku usaha
       Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen
       Pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli konsumen
       Pemberian klausa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli konsumen secara angsuran
       Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau manfaat jasa yang dibeli oleh konsumen
       Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa.
Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausa baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, sebagai konsekuensinya setiap klausa baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha dalam dokumen atau perjanjian yang memenuhi sebagaimana diatas telah dinyatakan batal demi hukum. Oleh karena itu, pelaku usaha diwajibkan untuk menyesuaikan klausa baku yang dibuatnya yang bertentangan dengan undang-undang.
7.    Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang (tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Namun dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produser (Product Liability) produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat intangible seperti listrik, produk alami (mis. Makanan binatang piaraan dengan jenis binatang lain), tulisan (mis. Peta penerbangan yang diproduksi secara masal), atau perlengkapan tetap pada rumah real estate (mis. Rumah).

Tanggung jawab produk (product liability), menurut Hursh bahwa product liability is the liability of manufacturer, processor or non-manufacturing seller for injury to the person or property of a buyer third party, caused by product which has been sold. Perkins Coie juga menyatakan Product Liability: The liability of the manufacturer or others in the chain of distribution of a product to a person injured by the use of product. Dengan demikian, yang dimaksud dengan product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut.

Bahkan dilihat dari konvensi tentang product liability di atas, berlakunya konvensi tersebut diperluas terhadap orang/badan yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha, bengkel dan pergudangan. Demikian juga dengan para agen dan pekerja dari badan-badan usaha di atas. Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian maupun harta benda.

Seperti di kemukakan di atas, bahwa jika dilihat secara sepintas, kelihatan bahwa apa yang di atur dengan ketentuan product liability telah diatur pula dalam KUHPerdata. Hanya saja jika kita menggunakan KUHPerdata, maka bila seorang konsumen menderita kerugian ingin menuntut pihak produsen (termasuk pedagang, grosir, distributor dan agen), maka pihak korban tersebut akan menghadapi beberapa kendala yang akan menyulitkannya untuk memperoleh ganti rugi. Kesulitan tersebut adalah pihak konsumen harus membuktikan ada unsur kesalahan yang dilakukan oleh pihak produsen. Jika konsumen tidak berhasil membuktikan kesalahan produsen, maka gugatan konsumen akan gagal. Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut kompensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidak adanya unsur kesalahan di pihak produsen. Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak (strtict liability) diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah :
       Diantara korban atau konsumen di satu pihak dan produsen di lain pihak, beban kerugian atau resiko yang seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi barang-barang cacat atau berbahasa tersebut dipsaran.
        Dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan, dan bilamana terbukti tidak demikian, dia harus bertanggung jawab
       Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak-pun produsen yang melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melalui proses penuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen. Penerapan strict liability dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang panjang ini
Dengan demikian apapun alasannya, pelaku usaha harus bertanggung jawab apabila ternyata produk yang dihasilkannya cacat atau berbahaya. Informasi akurat dan lengkap merupakan hak konsumen. Apabila kewajiban ini tidak dipenuhi, maka sudah semestinya pelaku usaha dimintai pertanggungjwaban.

8.    Sanksi
1. Sanksi Administratif
Berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000, terhadap pelaku usaha melanggar pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), pasal 20, pasal 25, dan pasal 26, yaitu :
  Pelaku usaha yang tidak melaksanakan pengembalian uang atau penggantian barang atau jasa yang sejenis atau setara nilainya atau perawatan kesehatan atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  Pelaku usaha yang tidak melaksanakan pemberian ganti rugi dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi.
  Pelaku usaha periklanan yang tidak bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
  Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya satu tahun yang tidak menyediakan suku cadang atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan.
  Pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi atau gugatan konsumen apabila pelaku:
- Tidak menyediakan atau lalai menyediakan suaku cadang atau fasilitas perbaikan
- Tidak memenuhi atau gagal memenuhi jamunan atau garansi yang diperjanjikan
  Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa tidak memenuhi jaminan atau garansi yang disepakati atau yang diperjanjikan.
2. Sanksi Pidana
a. berupa pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
b. berupa penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
c. dapat dijatuhkan hukuman tambahan berupa :
       Perampasan barang tertentu
       Pengumuman keputusan hakim
       Pembayaran ganti rugi
       Perintah penghentuan kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen
       Kewajiban penarikan barang dari peredarab
       Pemcabutan izin usaha
Sumber :
          http://elearning.upnjatim.ac.id/courses/HKB7006/document/materi_HUKUM_PERLINDUNGAN, diakses pada tanggal 10 Mei 2013
          http://emasemester5.files.wordpress.com/2012/10/hb-perlindungan-konsumen.ppt, diakses pada tanggal 10 Mei 2013
          http://repository.binus.ac.id/content/F0422/F042255889.ppt, diakses pada tanggal 10 Mei 2013
          http://vegadadu.blogspot.com/2011/04/klausula-baku-dalam-perjanjian.html, diakses pada tanggal 10 Mei 2013
          http://novianichsanudin.blogspot.com/2011/03/tanggung-jawab-pelaku-usaha.html, diakses pada tanggal 10 Mei 2013
         http://click-gtg.blogspot.com/2008/10/sanksi-administratif-dan-sanksi-pidana.html, diakses pada tanggal 10 Mei 2013


















BAB 11
Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
1.    Pengertian
Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, menyebutkan bahwa monopoli adalah suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Sedangkan persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cata tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
2.    Azas dan Tujuan
·      Azas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
·      Tujuan
Menurut Undang-undang No 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli persaingan usaha tidak sehat bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari Undang-undang persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
3.    Kegiatan yang Dilarang
Dalam Undang-Undang No 5 Tahun 1999, kegiatan yang dilarang diatur dalam pasal 17 sampai dengan pasal 25, adalah sebagai berikut :
·      Monopoli yang dijelaskan pada pasal 17 adalah
1)   Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2)   Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 apabila barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada subtitusinya, atau mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama, atau suatu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
·      Monopsoni, yang dijelaskan dalam pasal 18 adalah :
1)   Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
2)   Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal, sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar atau satu jenis barang atau jasa tertentu.
·      Penguasaan pasar
1)   Menurut pasal 19, pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan, atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
2)   Menurut pasal 21, pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat
3)   Menurut pasal 22, pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
4)   Menurut pasal 23, pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan tidak sehat.
5)   Menurut pasal 24, pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok dipasar bersangkutan menjadi berkurang, baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
4.    Perjanjian yang Dilarang
Perjanjian yang dilarang oleh BAB II Undang-undang anti monopoli, adalah sebagai berikut :
a)    Oligopoli, adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar
b)   Penetapan harga, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama, perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari yang harus dibayar oleh oembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama, perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.
c)    Pembagian wilayah, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
d)   Pemboikotan, pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
e)    Kartel, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
f)    Trust, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
g)   Oligopsoni, keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
h)   Integrasi vertical, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolalaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
i)     Perjanjian tertutup, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang membuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
j)     Perjanjian dengan pihak luar negeri, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
5.    Hal-hal yang dikecualikan dalam UU Anti Monopoli
1)   Perjanjian-perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang terdiri dari oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, integrasi vertical, perjanjian tertutup, perjanjian dengan pihak luar negeri
2)   Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang meliputi monopoli, monopsony, penguasaan pasar, persekongkolan
3)   Posisi dominan, meliputi pencegahan konsumen untuk memperoleh barang atau jasa yang bersaing, pembatasan pasar dan pengembangan teknologi, menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar, jabatan rangkap, pemilikan saham, merger, akuisisi, konsolidasi.
6.    Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU)
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-undang No 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
7.    Sanksi
1)   Pasal 36 UU anti monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli.
2)   Pasal 48
a)      Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya enam bulan.
b)      Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 samapai dnegan Pasal 25, dan Pasal 26 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti pidana denda selama-lamanya lima bulan.
c)      Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah) atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 bulan.
3)   Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitan Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa
a)    Pencabutan izin usaha
b)   Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabaran direksi atau komisaris sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya 5 tahun
c)    Penghemaran kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian kepada pihak lain.
Sumber :







BAB 12
Penyelesaian Sengketa Ekonomi
1.      Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik. Konflik berarti adanya oposisi atau pertentang antara orang-orang, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Menurut Ali Achmad, sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.
2.      Cara-cara Penyelesaian Sengketa
a)    Negosiasi, adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda ddan bertentangan.
b)   Mediasi, adalah upaya penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan yang membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian yang diterima kedua belah pihak.
c)    Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada suatu perjanjian arbitrase antara para pihak yang bersengketa. Dalam Arbitrase, para pihak memberikan kewenangan kepada arbiter untuk memberikan keputusan atas sengketa pada tingkat pertama dan terakhir.
d)   Pengadilan  adalah badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. 
3.      Negosiasi
Negosiasi adalah sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan. Negosiasi ini suatu proses saat dua pihak mencapau perjanjian yang dapat mencapai kepuasan semua pihak yang berkepentingan dengan elemen-elemen kerja sama dan kompetisi, diaman termasuk didalamnya tindakan yang dilakukan ketika bekomunikasi, kerjasama atau mempengaruhi orang laing dengan tujuan tertentu.
4.      Mediasi
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
5.      Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada suatu perjanjian arbitrase antara para pihak yang bersengketa. Dalam Arbitrase, para pihak memberikan kewenangan kepada arbiter untuk memberikan keputusan atas sengketa pada tingkat pertama dan terakhir.
6.      Perbandingan antara Perundingan, Arbitrase, dan Ligitasi
a)         Perundingan adalah cara penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa saling melakukan kompromi untuk menyuarakan kepentingannya, dengan itu diharapkan terciptanya solusi dan mengakhiri sengketa tersebut.
b)        Ligitasi adalah sistem penyelesaian melalui lembaga peradilan yang akan diperiksa dan diputuskan oleh hakim. Melalui sistem ini tidak mungkin tercapai solusi, karena hakim harus menjatuhkan putusan kepada salah satu pihak yang mana yang menang dan mana yang kalah. Melalui ligitasi biayanya lebih murah, namun kurangnya kepastian hukum.
c)         Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa dimana yang memeriksa perkara bukanlah hakim, tetapi seorang arbiter. Arbiter ini bisa lebih dipercata karena seorang ahli dibidangnya dalam mengambil keputusan dan hasilnya akan lebih cermat. Namun memang biaya yang dikeluarkan aka lebih mahal, selain itu putusan arbitrasi tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke perngadilan negeri, dan ruang lingkup arbitrase terbatas, hanya pada bidang perdagangan, ekspor-impor, pasar modal.
Sumber :
http://www.bakti-arb.org/arbitrase.html, diakses pada tanggal 10 Mei 2013